Minggu, 22 November 2009

Pembukaan Hutan Belum Membawa Kesejahteraan Bagi Masyarakat

Pembukaan hutan untuk investasi perkebunan maupun pengolahan kayu di Papua belum mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Kegiatan itu dinilai lebih banyak menimbulkan degredasi social dan adat. Yang jelas warga di pedalaman kesulitan mendapatkan makanan dan obat karena hutan dibuka. Pemahaman adaptasi ini mulai bergeser ketika masyarakat di kampung melihat bahwa hutan bernilai ekonomi. Dampaknya masyarakat terlibat konflik antarwarga dalam penentuan batas kepemilikan hutan dan kehilangan identitas marga. Masuknya berbagai perusahaan kayu yang menawarkan iming – iming uang yang melimpah dan besar membuat masyarakat menyerahkan hutannya kepada perusaan – perusahaan tersebut. Akibatnya mereka kehilangan hutannya dan daerahnya.
Pengaruh Pembukaan Hutan Terhadap Sumber Daya Lahan
Praktek pembukaan hutan menyebabkan perubahan dan kerusakan secara langsung melalui :
a. Kehilangan kanopi yang menghasilkan perubahan iklim mikro di atas dan bawah permukaan tanah
b. Pemadatan tanah, kehilangan struktur tanah bahkan kehilangan lapisan atas tanah yang menghasilkan perubahan sifat fisik dan kima tanah. Penguapan hara tanaman melaui pembakaran diikuti pengembalian hara sebagai deposit debu.
c. Perubahan fisiko-kimia akibat pembukaan hutan ini secara langsung juga berpengaruh terhadap sifat biologi tanah dan vegetasi. Melalui kehilangan kanopi, benih dan masukan serasah, regenerasi benih secara insitu dan kerusakan akar dipermukaan, populasi mikroba tanah dan cadangan benih.
Pengaruh Pembukaan Hutan Terhadap Potensi Sumberdaya Air
Menurut Asdak (1995), bahwa vegetasi penutup tanah dapat menghalangi jalannya air larian dan memperbesar jumlah air yang tertahan di atas permukaan tanah (surface detention), yang akan menurunkan laju air larian. Berkurangnya laju dan volume air larian berkaitan dengan perubahan nilai koefisien air larian, yang menunjukkan perbandingan antara besarnya air larian dengan curah hujan 5 total. Jika jumlah air hujan yang menjadi air larian makin besar, maka ancaman terjadinya erosi dan banjir menjadi lebih besar.
Hutan di Indonesia memiliki nilai ekonomi, sosial, lingkungan dan budaya bagi negara dan masyarakat setempat khususnya. Jika berbagai peranan itu tidak seimbang, yang satu lebih ditekankan daripada yang lainnya, maka keberlanjutan hutan akan semakin terancam. Hal ini terlihat selama 25 tahun terakhir ini, eksploitasi sumber daya dan tekanan pembangunan mempunyai pengaruh pada hutan. Dalam buku Agenda 21 Indonesia disebutkan bahwa faktor-faktor yang menekan kerusakan hutan Indonesia, yaitu: (a) pertumbuhan penduduk dan penyebarannya yang tidak merata; (b) konversi hutan untuk pengembangan perkebunan dan pertambangan; (c) pengabaian atau ketidaktahuan mengenai pemilikan lahan secara tradisional (adat) dan peranan hak adat dalam memanfaatkan sumber daya alam; (d) program transmigrasi; (e) pencemaran industri dan pertanian pada hutan lahan basah; (f) degradasi hutan bakau yang disebabkan oleh konversi menjadi tambak; (g) pemungutan spesies hutan secara berlebihan; dan (h) introduksi spesies eksotik.
Hal itu semua dapat menyebabkan warga kampung menderita karena hutan tempat mereka dirusak oleh para pengusaha – pengusaha yang menjanjikan uang yang melimpah dan membuka lapangan pekerjaan bagi para warga kampung. Namun hal itu tidak terjadi karena pengusaha – pengusaha itu hanya berbohong semata ingin mendapatkan tanah yang dimiliki oleh warga kampong. Hasilnya warga kampung sudah tidak memilki lahan lagi dan mereka menderita akibat ulah para pengusaha yang hanya ingin mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri namun tidak mementingkan orang lain. Hutan juga banyak dibakar sehingga daerah sekitar menjadi mudah terkena banjir dan tanah longsor.
Pembangunan di sektor kehutanan pada dasarnya ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Alih fungsi hutan untuk mendukung program pengembangan perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu sektor ekonomi yang dapat membuka lapangan pekerjaan sekaligus menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Program pengembangan perkebunan kelapa sawit tampaknya menjadi jawaban bagi pemerintah untuk mengatasi persoalan kemiskinan dan pengangguran. Kenyataannya, peningkatan kesejahteraan tidak pernah terwujud dan keadaannya menjadi terbalik. Investasi bernilai miliaran dolar itu justru membuat rakyat kehilangan kemandirian dalam membangun kesejahteraannya sendiri. Namun, kebijakan yang salah arah ternyata tidak menghentikan pengembangan perkebunan kelapa sawit. Angka statistik perluasan perkebunan kelapa sawit di daerah terus mengalami peningkatan. Pengusahaan hutan untuk kesejahteraan rakyat adalah suatu bentuk pengandaian yang mendominasi pandangan pemerintah dalam mengambil kebijakan terkait sektor kehutanan sejak awal dilakukannya konversi hutan alam menjadi ladang eksploitasi untuk kepentingan ekonomi. Pengandaian yang tidak memiliki dasar yang jelas tersebut terbukti menciptakan ketergantungan yang merusak dan menutup kemungkinan bagi masyarakat di sekitar hutan untuk memiliki pilihan yang lebih baik yang menunjang keberlanjutan ekonomi. Dalam kasus sawit, pengembangan perkebunan kelapa sawit membuat masyarakat adat dan petani setempat terdesak di tanah mereka sendiri. Jadi pembukaan hutan yang seharusnya akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat malahan membuat masyarakat semakin menderita.


Referensi :

Koran Kompas , Sabtu 21 November 2009 Halaman 22

http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/09145/9145_6A.pdf

www.bappenas.go.id

http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&jd=Lomba+Tulis+Yayasan+Peduli+Hutan+Lestari%3A+Fenomena+Sawit%2C+Konservasi%2C+Dan+Realitas+Pengelolaan+Hutan+Di+Indonesia&dn=20081028144445

Tidak ada komentar:

Posting Komentar