Pemerintah menetapkan krisis kelangkaan listrik yang terjadi di Tanah Air saat ini sudah memasuki tahapan darurat energi karena dari 24 daerah system kelistrikan 22 di antaranya berada dalam situasi deficit dan siaga. Dalam 6 bulan ke depan diharapkan ada solusi konkret sehingga kekurangan listrik bisa sedikit ditekan. Krisis listrik mencuat menyusul kerusakan pada trafo di gardu induk Cawang dan Kembangan, Jakarta, akhir September. Kerusakan itu membuat Jakarta dan sekitarnya harus mengalami pemadaman bergilir. Situasi ini mengundang kecaman dan protes terutama dari kalangan industri yang menderita kerugian hingga miliaran rupiah. Atas dasar itu, Kantor Menko Perekonomian tengah membahas secara detail berbagai penyebab kelangkaan listrik dengan mengarah pada tiga elemen. Pertama pilihan teknologi pada saat investasi pembangkit listrik yang dapat mempengaruhi harga jual listrik. Kedua elemen ongkos pemeliharaan variable. Ketiga elemen biaya bahan bakar. Elemen bahan baker inilah yang menjadi fokus utama pemerintah dalam mencegah kenaikan tariff dasar listrik.
Jakarta adalah sentral. Kota ini wajah republik. Tapi rupa elok Ibu Kota itu sekarang sulit dikenali. Pasalnya "byarpet" alias mati lampu kerap terjadi. Alhasil aktivitas warga terganggu. Lalu lintas semrawut, kemacetan makin panjang, energi yang terbuang akibat macet menanjak, kalangan industri menjerit. Bayangkan industri skala rumahan di Jakarta yang tekor hingga Rp 10 miliar per hari. Yang menimpa Jakarta ini melengkapi nestapa serupa di sekujur Nusantara. Kita terheran-heran menyaksikan pemadaman bergilir sudah terjadi berbgai daerah di Indonesia. Pangkal persoalan bukan kerusakan mesin pembangkit atau sebab lain yang bersifat insidental. Lebih fundamental dari itu, PLN di sejumlah daerah mengalami defisit atau kekurangan pasokan listrik.
Industri kita bakal makin sulit bersaing. Pertumbuhan industri manufaktur kian lemah. Pasokan listrik ditengarai salah satu kendala utama yang dihadapi industri manufaktur, selain ketenagakerjaan dan pembiayaan. Ironisnya, yang paling terpukul adalah industri kecil karena terlalu mahal bagi mereka membeli genset. Krisis listrik tak akan separah sekarang jika pembangkit yang ada beroperasi optimal. Kuncinya, keberlanjutan pasokan energi primer yang murah (gas dan batu bara), pemanfaatan pembangkit swasta, serta pemeliharaan pembangkit dan jaringan transmisi/distribusi.
PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) berhasil meningkatkan porsi pembangkit dengan gas dan batu bara sehingga selama semester I-2009 bisa menghemat Rp 9,38 triliun. Potensi penghematan masih besar. PLTGU Tambak Lorok, misalnya, belum beroperasi optimal karena pemerintah tak kunjung menuntaskan pengaturan pasokan gas. Jangan sampai untuk mengamankan kepentingan kelompok bisnis swasta tertentu pemerintah mengorbankan PLN dan rakyat. Yang juga bisa cepat ditangani pemerintah adalah mengamankan pasokan listrik dari PLTGU Tanjung Priok dan Muara Karang. Kedua pembangkit ini butuh tambahan pasokan gas, tetapi sampai saat ini belum ada kata putus dari Pertamina dan PT Perusahaan Gas Negara. Kalau pengikatan dengan sesama badan usaha milik negara saja tak kunjung tuntas, bisa dibayangkan rumitnya perundingan antara PT PLN dan IPP. Sumber masalah di tangan pemerintah sebagai regulator. Pemerintah dan BP Migas perlu cepat bertindak agar kepastian segera hadir bagi pelaku di bidang kelistrikan.
Dari jumlah ini sebesar 3.112 MW berasal dari pembangkit listrik tenaga air yang saat ini sedang mengalami krisis produksi listrik akibat musim kemarau. Hal ini tentu tidak sehat karena sangat berpotensi menimbulkan gangguan pasokan. Kondisi seperti ini akan terus terjadi secara nasional apabila tidak ada akselerasi pembangunan pembangkit-pembangkit baru dalam tahun-tahun mendatang. Kedua, pertumbuhan konsumsi listrik terus meningkat lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi atau rata-rata hampir 9% pertahun dalam 4 tahun terakhir. Untuk memenuhi kenaikan pertumbuhan ini, diperlukan penambahan kapasitas baru. Ketiga, jalur transmisi dan distribusi tenaga listrik banyak yang sudah tua sehingga tidak efisien. Keempat, perkembangan investasi disisi pembangkitan tidak sebanding dengan pertumbuhan konsumsi listrik. Kelima, konsumsi listrik oleh seluruh sektor pengguna yaitu rumah tangga, industri dan transportasi masih dilakukan dengan tidak efisien. Keenam, faktor alam sering mengganggu kapasitas pembangkit listrik tenaga air seperti yang kita alami saat ini. Ketujuh, harga jual listrik relatif masih belum sesuai dengan harga keekonomiannya sehingga kurang menarik bagi para investor. Untuk masalah ini, pemerintah secara terus menerus memperbaiki struktur harga listrik hingga mencapai harga keekonomiannya.
Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro, pemerintah terus berusaha untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut secara bertahap. Solusi yang paling diperlukan dalam penyediaan tenaga listrik adalah penambahan pembangkit baru. Dalam kaitannya dengan hal ini, karena keterbatasan anggaran pemerintah untuk membangun pembangkit listrik dengan kapasitas yang diperlukan, dibuka kesempatan luas bagi pihak swasta, pemerintah daerah dan koperasi untuk masuk dalam bisnis pembangkitan sebagaimana diatur dalam UU No 20/2002 tentang kelistrikan. Menteri Purnomo menjelaskan bahwa meskipun terdapat kendala dengan adanya Keppres No 7 tahun 1998 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam Pembangunan dan atau Pengelolaan Infrastruktur tetapi tetap dimungkinkan BUMN bekerjasama dengan pihak swasta untuk melakukan investasi tanpa menggunakan dana APBN. Dalam jangka pendek, pemerintah telah menyiapkan beberapa langkah untuk mengatasi krisis listrik. Pertama, mengatur kembali jadwal pemeliharaan unit-unit pembangkit termal yang berasal dari minyak bumi, gas bumi dan batubara. Kedua mengoptimalkan kapasitas pembangkit non air termasuk panasbumi. Disamping itu pemerintah juga mendorong industri pembangkit untuk meningkatkan efisiensi disisi pembangkitan. Ketiga, mengajak masyarakat dan pihak industri untuk lebih hemat menggunakan listrik khususnya pada saat beban puncak. Sudah saatnya masyarakat dan kalangan industri untuk sadar bahwa peranan mereka sangat penting dalam membantu mencegah terjadinya krisis listrik. Masyarakat dihimbau untuk menggunakan lampu hemat listrik karena bukan hanya membantu mengurangi krisis listrik tetapi secara ekonomis juga menguntungkan, serta mengatur penggunaan alat-alat listrik seperti menghindari penggunaan setrika, mesin air dan lainnya pada saat beban puncak yaitu antara jam 18:00-22:00. Keempat, dan ini bila benar-benar diperlukan, pemerintah akan membeli listrik dari perusahaan yang memiliki kelebihan cadangan. Dengan langkah-langkah ini, Menteri Purnomo mengharapkan, masyarakat tidak perlu terlalu khawatir akan kemungkinan pemadaman listrik khususnya di Pulau Jawa sekaligus menghimbau masyarakat dan pihak industri untuk dapat bekerjasama mengurangi konsumsi listrik sehingga pemadaman dapat dihindari.
Jakarta adalah sentral. Kota ini wajah republik. Tapi rupa elok Ibu Kota itu sekarang sulit dikenali. Pasalnya "byarpet" alias mati lampu kerap terjadi. Alhasil aktivitas warga terganggu. Lalu lintas semrawut, kemacetan makin panjang, energi yang terbuang akibat macet menanjak, kalangan industri menjerit. Bayangkan industri skala rumahan di Jakarta yang tekor hingga Rp 10 miliar per hari. Yang menimpa Jakarta ini melengkapi nestapa serupa di sekujur Nusantara. Kita terheran-heran menyaksikan pemadaman bergilir sudah terjadi berbgai daerah di Indonesia. Pangkal persoalan bukan kerusakan mesin pembangkit atau sebab lain yang bersifat insidental. Lebih fundamental dari itu, PLN di sejumlah daerah mengalami defisit atau kekurangan pasokan listrik.
Industri kita bakal makin sulit bersaing. Pertumbuhan industri manufaktur kian lemah. Pasokan listrik ditengarai salah satu kendala utama yang dihadapi industri manufaktur, selain ketenagakerjaan dan pembiayaan. Ironisnya, yang paling terpukul adalah industri kecil karena terlalu mahal bagi mereka membeli genset. Krisis listrik tak akan separah sekarang jika pembangkit yang ada beroperasi optimal. Kuncinya, keberlanjutan pasokan energi primer yang murah (gas dan batu bara), pemanfaatan pembangkit swasta, serta pemeliharaan pembangkit dan jaringan transmisi/distribusi.
PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) berhasil meningkatkan porsi pembangkit dengan gas dan batu bara sehingga selama semester I-2009 bisa menghemat Rp 9,38 triliun. Potensi penghematan masih besar. PLTGU Tambak Lorok, misalnya, belum beroperasi optimal karena pemerintah tak kunjung menuntaskan pengaturan pasokan gas. Jangan sampai untuk mengamankan kepentingan kelompok bisnis swasta tertentu pemerintah mengorbankan PLN dan rakyat. Yang juga bisa cepat ditangani pemerintah adalah mengamankan pasokan listrik dari PLTGU Tanjung Priok dan Muara Karang. Kedua pembangkit ini butuh tambahan pasokan gas, tetapi sampai saat ini belum ada kata putus dari Pertamina dan PT Perusahaan Gas Negara. Kalau pengikatan dengan sesama badan usaha milik negara saja tak kunjung tuntas, bisa dibayangkan rumitnya perundingan antara PT PLN dan IPP. Sumber masalah di tangan pemerintah sebagai regulator. Pemerintah dan BP Migas perlu cepat bertindak agar kepastian segera hadir bagi pelaku di bidang kelistrikan.
Dari jumlah ini sebesar 3.112 MW berasal dari pembangkit listrik tenaga air yang saat ini sedang mengalami krisis produksi listrik akibat musim kemarau. Hal ini tentu tidak sehat karena sangat berpotensi menimbulkan gangguan pasokan. Kondisi seperti ini akan terus terjadi secara nasional apabila tidak ada akselerasi pembangunan pembangkit-pembangkit baru dalam tahun-tahun mendatang. Kedua, pertumbuhan konsumsi listrik terus meningkat lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi atau rata-rata hampir 9% pertahun dalam 4 tahun terakhir. Untuk memenuhi kenaikan pertumbuhan ini, diperlukan penambahan kapasitas baru. Ketiga, jalur transmisi dan distribusi tenaga listrik banyak yang sudah tua sehingga tidak efisien. Keempat, perkembangan investasi disisi pembangkitan tidak sebanding dengan pertumbuhan konsumsi listrik. Kelima, konsumsi listrik oleh seluruh sektor pengguna yaitu rumah tangga, industri dan transportasi masih dilakukan dengan tidak efisien. Keenam, faktor alam sering mengganggu kapasitas pembangkit listrik tenaga air seperti yang kita alami saat ini. Ketujuh, harga jual listrik relatif masih belum sesuai dengan harga keekonomiannya sehingga kurang menarik bagi para investor. Untuk masalah ini, pemerintah secara terus menerus memperbaiki struktur harga listrik hingga mencapai harga keekonomiannya.
Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro, pemerintah terus berusaha untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut secara bertahap. Solusi yang paling diperlukan dalam penyediaan tenaga listrik adalah penambahan pembangkit baru. Dalam kaitannya dengan hal ini, karena keterbatasan anggaran pemerintah untuk membangun pembangkit listrik dengan kapasitas yang diperlukan, dibuka kesempatan luas bagi pihak swasta, pemerintah daerah dan koperasi untuk masuk dalam bisnis pembangkitan sebagaimana diatur dalam UU No 20/2002 tentang kelistrikan. Menteri Purnomo menjelaskan bahwa meskipun terdapat kendala dengan adanya Keppres No 7 tahun 1998 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam Pembangunan dan atau Pengelolaan Infrastruktur tetapi tetap dimungkinkan BUMN bekerjasama dengan pihak swasta untuk melakukan investasi tanpa menggunakan dana APBN. Dalam jangka pendek, pemerintah telah menyiapkan beberapa langkah untuk mengatasi krisis listrik. Pertama, mengatur kembali jadwal pemeliharaan unit-unit pembangkit termal yang berasal dari minyak bumi, gas bumi dan batubara. Kedua mengoptimalkan kapasitas pembangkit non air termasuk panasbumi. Disamping itu pemerintah juga mendorong industri pembangkit untuk meningkatkan efisiensi disisi pembangkitan. Ketiga, mengajak masyarakat dan pihak industri untuk lebih hemat menggunakan listrik khususnya pada saat beban puncak. Sudah saatnya masyarakat dan kalangan industri untuk sadar bahwa peranan mereka sangat penting dalam membantu mencegah terjadinya krisis listrik. Masyarakat dihimbau untuk menggunakan lampu hemat listrik karena bukan hanya membantu mengurangi krisis listrik tetapi secara ekonomis juga menguntungkan, serta mengatur penggunaan alat-alat listrik seperti menghindari penggunaan setrika, mesin air dan lainnya pada saat beban puncak yaitu antara jam 18:00-22:00. Keempat, dan ini bila benar-benar diperlukan, pemerintah akan membeli listrik dari perusahaan yang memiliki kelebihan cadangan. Dengan langkah-langkah ini, Menteri Purnomo mengharapkan, masyarakat tidak perlu terlalu khawatir akan kemungkinan pemadaman listrik khususnya di Pulau Jawa sekaligus menghimbau masyarakat dan pihak industri untuk dapat bekerjasama mengurangi konsumsi listrik sehingga pemadaman dapat dihindari.
Referensi :
Koran Kompas , Sabtu 21 November 2009 Halaman 1
http://berita.liputan6.com/producer/200911/250545/Menuju.Krisis.Listrik.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/11/16/06083411/Krisis.Listrik.karena.Pemerintah.Salah.Urus
http://www.esdm.go.id/mesdm/index.php?view=article&catid=1%3Amesdm&id=1237%3Ameningkatkan-kerjasama-dalam-mengatasi-krisis-listrik&option=com_content
Tidak ada komentar:
Posting Komentar